Sabtu, 16 April 2011

Lingkungan Cagar Budaya

Berdasar Perda No. 9 Tahun 1999 Tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Cagar Budaya, Pelestarian lingkungan cagar budaya dibagi dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :

1. Lingkungan Cagar Budaya Golongan I

Lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria, termasuk yang mengalami sedikit perubahan, tetapi masih memiliki tingkat keaslian yang utuh

a. Lingkungan dan bangunan tidak boleh diubah dari aslinya

b. Apabila kondisi fisik lingkungan buruk dan rusak dapat dilakukan perbaikan atau pembangunan kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya dengan menggunakan bahan / komponen tang sama / sejenis atau memiliki karakter yang sama

2. Lingkungan Cagar Budaya Golongan II

a. Penataan lingkungan dilakukan dengan tetap mempertahankan keaslian unsur-unsur lingkungan serta arsitektur bangunannya yang menjadi ciri khas kawasan.

b. Apabila kondisi fisik mengalami kerusakan dan atau kemusnahan maka dimungkinkan dilakukan pembangunan baru

c. Dimungkinkan dilakukan adaptasi terhadap fungsi-fungsi baru sesuai rencana kota.

d. Pelestarian bangunan cagar budaya yang berada di lingkungan ini harus mengikuti ketentuan pemugaran bangunan cagar budaya dengan golongan yang lebih tinggi atau terbanyak jumlahnya

3. Lingkungan Cagar Budaya Golongan III

a. Penataan lingkungan dapat dilakukan dengan penyesuaian-penyesuaian terhadap rencana kota dengan tidak mengurangi unsur keaslian terutama yang menjadi ciri khas kawasan

b. Dimungkinkan adanya pembangunan baru

c. Pemugaran bangunan cagar budaya yang di lingkungan ini harus mengikuti ketentuan pemugaran bangunan cagar budaya sesuai dengan golongannya

Contoh Cagar Budaya Golongan I

Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama ImanrigauDaeng Bonto KaraenLakiungTumapa'risiKallona. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.

Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornellis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.

Di kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.

Pintu gerbang utama Rotterdam

Bagian sudut paling belakang Rotterdam

Ruangan penjara pangeran Diponegoro


Sumber :

http://id.wikipedia.org/wiki/Fort_Rotterdam

http://wisatasulawesi.wordpress.com/wisata-sulawesi-selatan/benteng-rotterdam-somba-opu/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar